Telaah Terhadap Waktu Imsak
25 September 2007
WRITTEN BY ADMIN
1 KOMENTAR
Bismillahirahmanirrahiim
Sebagian kaum muslimin saat ini masih memiliki kecenderungan kepada pemahaman bahwa imsak adalah batas terakhir diperbolehkannya makan dan minum dan menjadi awal dimulainya puasa pada hari itu. Sehingga apabila seseorang melakukan hal-hal yang seyogyanya membatalkan puasa setelah waktu imsak tersebut hingga tiba waktu adzan Subuh maka menjadi batallah puasanya.
Pemikiran dan pemahaman ini telah menjadi stigma adanya sebuah aturan atau lebih tepat dikatakan sebagai tradisi yang membudaya di kalangan kaum muslimin di mana saja. Bahkan sudah menjadi sesuatu yang dilazimkan di kalangan mereka dengan mencetak almanak-almanak Islam ketika menjelang bulan suci Ramadhon dimana tertera di dalamnya sangat jelas adanya waktu Imsak sebelum waktu Subuh. Kecenderungan berpegang pada pemahaman ini dikarenakan terlalu cepatnya mengambil hujjah yang dianggap sebagai ijma’ (konsensus) dari para ulama salaf. Benarkah?
Sebaliknya disisi lain sangat disayangkan bahwa mereka tidak mencoba meneliti kembali syariat diadakannya imsak melalui nash-nash yang cukup jelas dan hadits-hadits yang cukup banyak kemudian dikomparasikan dan mencari mana yang lebih rajih yang dapat dipakai sebagai hujjah yang sejatinya dijadikan kebiasaan ilmiah kaum muslimin saat ini sebelum berkata dan beramal.
Sebagaimana Allah ta’ala berfirman tentang wajibnya mendahulukan ilmu sebelum amal: “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan”. (Muhammad : 19)
Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala menggunakan kata kerja perintah (fiil amr) yaituI’lam (ketahuilah) yang sangat tegas menunjukkan keharusan atau kewajiban yang mutlak sebelum melakukan amalan apapun di dalam syariat Islam ini. Bahkan salah seorang muhaddits besar Imam Bukhori sampai membuat suatu bab di dalam Kitab Shahihnya tentang mendahukukan ilmu sebelum berkata dan beramal.
Mari kita melihat hujjah yang digunakan mereka yang memiliki pemahaman bahwa imsak adalah tanda waktu masuknya saat berpuasa atau setidaknya mengafdholkan waktu imsak sebagai wujud kehati-hatian dari terjerumus kepada hal-hal yang membatalkan puasa kita.
Dari Anas ra meriwayatkan bahwa Zaid bin Tsabit r.a. berkata: “Kami makan sahur bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau bangun mengerjakan sholat. Anas ra bertanya kepada Zaid ra:- “Berapa lamanya antara azan (Subuh) dengan waktu makan sahur itu ?” Dia menjawab: “Kira-kira sebanyak membaca 50 ayat.”(HR. Bukhori no. 1921 dalam Kitab Shaum)
Diantara mereka yang membolehkan adanya imsak menggunakan dalil hadits tersebut dan menanggap imsak sebagai sunnah. Mereka mengatakan...”Dan imsak dari makan (yakni bersahur) itu mandub (disunnahkan) sebelum fajar kira-kira sebanyak bacaan 50 ayat ( sekadar seperempat jam atau 15 menit)”. Yakni seseorang itu disunnahkan melakukan imsak sebelum fajar kira-kira 15 menit atau kadar pembacaan 50 ayat yang sederhana dengan kecepatan yang sedang tidak terlalu cepat. Inilah yang dimaksudkan oleh mereka sebagai waktu imsak yang disunnahkan sebagai langkah berhati-hati dan mengikut sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan imsak setelah masuk fajar adalah wajib.
Kemudian mereka mengatakan bahwa Hadis tersebut menunjukkan bahwa jarak atau senggang waktu antara sahurnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. dan adzan Subuh kira-kira 50 ayat. Dan mengandung pengertian bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika makan sahur beliau berhenti dari makan kira-kira dengan perhitungan bacaan 50 ayat sebelum masuk waktu Subuh. Inilah yang difahami oleh mereka sehingga menetapkan kesunnahan berimsak dengan perhitungan bacaan 50 ayat tersebut yang disamakan dengan 10 atau 15 menit. Senggang waktu antara sahur dan masuk fajar (adzan subuh) yang dinamakan sebagai waktu imsak dihukumi sebagai sunnah imsak (menahan diri daripada perkara membatalkan puasa)
Demikianlah argumentasi mereka yang membenarkan dan bahkan mensunnahkan diadakannya imsak. Sebenarnya hadits tersebut shahih dan sudah sangat sering kita dengar namun penempatannya yang keliru yaitu untuk menghukumi adanya waktu imsak dengan batasan 50 ayat sebelum waktu subuh dan menganggapnya sebagai hal yang lebih utama.
Sebelum memberikan uraian tentang sanggahan atas argumen tersebut ada baiknya kita menengok sejenak ayat yang memerintahkan wajibnya kita selaku umat Islam untuk berpuasa.
Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (Al-Baqoroh : 183)
Di dalam ayat ini yang diseru untuk berpuasa adalah orang-orang yang beriman sehingga hukum meninggalkan sesuatu wajib (berpuasa pent-) dalam keadaan tanpa udzur syar’i adalah perbuatan dosa besar. Bahkan ulama sepakat tidak ada qodho di hari lain terhadap perbuatan meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa udzur syar’i tersebut. Dalam sebuah kitab yang terkenal yaitu Kitab Al-Kaba’ir yang ditulis oleh Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullah beliau memasukkan kedudukan orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa udzur syar’i adalah sebagai pelaku dosa besar yang ke enam. Setelah dosa syirik, sihir, membunuh jiwa, meninggalkan sholat, dan meninggalkan membayar zakat. Na’udzubillah
Kemudian mengenai batasan waktu awal berpuasa dimana dalam ayat-ayat selanjutnya telah dijelaskan secara tegas tentang batasan waktu dimulainya puasa pada hari di bulan Ramadhon dan mulai berhenti dari makan dan minum.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan makan minumlah sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar” (Al-Baqoroh : 187)
Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat tersebut beliau menukil sebuah hadits riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah dari jalan Abu Dzar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Senantiasa umatku berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat ifthor (waktu berbuka) dan mengakhirkan sahur”. Kemudian dalam riwayat yang lain dari Imam Ahmad, Ibnu Majah dan An-Nasa’i yaitu hadits dari jalan Hudzaifah ra bahwa ia berkata: “Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu siang namun matahari belum terbit”. An-Nasa’i berkata lebih disukai mendekatkannya hingga waktu siang (terang) sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik”(Ath-Thalaq : 2) Yaitu mendekati batas akhir iddah maka bisa dengan mendekati melalui cara yang baik atau melepaskannya. Ini merupakan dua buah kenikmatan yang terkandung di dalam hadits tadi.
Bahwasanya mereka (para sahabat) sahur sedangkan mereka belum yakin akan terbitnya fajar sampai sebagian dari mereka mengira telah terbit fajar. Sedangkan sebagian yang lain belum memastikannya. Telah banyak riwayat dari para salaf bahwasanya mereka mentolerir (tasamuh) dalam perkara sahur sampai mendekati fajar. Riwayat yang serupa pula datang dari Abu Bakar ra, Umar ra, Ali ra, Ibnu Mas’ud, Hudzifah, Abu Huroiroh, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, dan dari golongan tabiin di antaranya Muhammad bin Ali bin Husain, Ibrahim an-Nakha’I, Ibnu Dhokha, Abu Wa’il, dan dari sahabat Ibnu Mas’ud seperti ‘Atho, Hasan, Hakim bin Uyainah, Mujahid, Urwah bin Zubair, Jabir bin Zaid, A’masyi, Jabir bin Rasyid.
Demikian pula Abu Ja’far ibnu Jarir dalam tafsirnya dari sebagian mereka beliau berkata: Sesungguhnya imsak hanya diwajibkan manakala matahari telah terbit sebagaimana dibolehkannya berbuka pada saat matahari terbenam. Dan perkataan ini tidak dianggap oleh seorang pun ahlul ilmi sebagai suatu yang menyelisihi nash Al-Qur’an berikut:“Dan makan minumlah sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam“.(Al-Baqoroh : 187)
Telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari jalan ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian terganggu dengan adzan Bilal, karena panggilan itu untuk malam hari, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum maka tidak diperbolehkan lagi sampai terbit fajar”
Sedangkan dalam riwayat Imam Ahmad dari Qois ibnu Tholaq dari bapaknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukan merupakan fajar garis luruh memancar di ufuk akan tetapi ia membentang kemerahan”
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir hal. 304-305 , cet. Maktabah Taufiqiyyah Mesir)
Dari Adi bin Hatim Radhiyallahu’anhu berkata pada saat turun ayat: “Sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar”. [Al-Baqarah:187]
Aku mengambil iqal hitam digabungkan dengan iqal putih, aku letakkan di bawah bantalku, kalau malam aku terus melihatnya hingga jelas bagiku, pagi harinya aku pergi menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan adanya perbuatanku tersebut. Beliaupun bersabda:
“Maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang”. (HR. Bukhori 4/113 dan Muslim 1090)
Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata ketika turun ayat.
“Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam”
Ada seorang pria jika ingin puasa, ia mengikatkan benang hitam dan putih di kakinya, dia terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat kedua benang tersebut. Kemudian Allah menurunkan ayat : “(Karena) terbitnya fajar” , mereka akhirnya tahu yang dimaksud adalah hitam (gelapnya) malam dan terang (putihnya) siang. (Hadits Riwayat Bukhari 4/114 dan Muslim 1091)
Maka Kalau kita lihat dari sisi pendalilan ayat dalam tafsir surat Al-Baqoroh ayat 187 di atas dengan hadits Anas ra di awal maka hadits tadi memiliki maksud menerangkan rentang waktu yang dimanfaatkan untuk makan sahur dan mengindikasikan adanya keutamaan mengakhirkan sahur di dalam rentang waktu bacaan lima puluh ayat yang artinya pula selama bacaan 50 ayat tersebut kita masih diperbolehkan untuk makan dan minum sampai terdengar adzan Subuh atau warna fajar kemerahan. Inilah bukti keluasan rahmat Allah kepada hamba-Nya dalam bentuk rukhsah. Hadits Anas pun diperkuat sebagaimana hadits berikut ini:
Dari Samurah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah kalian tertipu oleh adzannya Bilal dan jangan pula tertipu oleh warna putih yang memancar ke atas sampai melintang” [Hadits Riwayat Muslim 1094]
Dari Thalq bin Ali, (bahwasanya) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Makan dan minumlah, jangan kalian tertipu oleh fajar yang memancar ke atas. Makan dan minumlah sampai warna merah membentang” [Hadits Riwayat Tirmidzi 3/76, Abu Daud 2/304, Ahmad 4/66, Ibnu Khuzaimah 3/211]
Warna merah membentang adalah fajar dan penentuan waktu subuh pun menggunakan indikasi fajar kemerahan (shodiq). Sehingga keduanya menggunakan indikator yang sama. Maka apabila tiba-tiba muncul pengertian yang memisahkan adanya imsak dan waktu fajar merupakan suatu kekeliruan yang fatal. Karena kalau mereka mau lebih teliti memahami nash dan hadits niscaya mereka akan menemukan banyak kesesuaian di dalamnya yang menyatakan bahwa imsak tidak pernah disyariatkan di dalam praktek-praktek shaumnya Rasulullah dan para sahabat. Sebagaimana tidak adanya perbedaan dalam menentukan waktu berbuka (ifthor). Karena ibadah puasa indikasinya sudah dijelaskan oleh Rasulullah yaitu adanya fajar (awal kemunculan matahari) sampai terbenamnya matahari. Apakah di dalam berbuka kita hendak membuat waktu jeda antara saat berbuka dan adzan Maghrib juga sebagaimana imsak, tidak bukan?
Dari Umar bin Khaththab ra, menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika malam telah datang dari sini dan siang juga telah pergi dari sini serta matahari telah tenggelam, maka orang yang berpuasa boleh berbuka”. (HR. Bukhori no. 1954 dalam Kitab As-Shaum)
Simaklah dengan cermat hadits di atas jika Rasulullah menyuruh kita berbuka dengan indikasi tenggelamnya matahari lalu mengapa kita wajib berhenti makan dan minum ketika sahur dengan menggunakan indikasi lain (imsak)? Padahal indikasi yang telah disepakati oleh salaful ummah adalah fajar kemerahan dan kumandang adzan Subuh. Apalagi waktu yang terbuang -jika kita meyakini adanya imsak- yang seharusnya bisa kita pergunakan untuk makan dan minum tidak bisa dikatakan singkat yaitu 10 sampai 15 menit. Ini waktu yang cukup berharga. Dengan waktu ini seseorang bisa memperoleh keberkahan di dalam sahur.
Jadi termasuk sangat berlebihan jika maksud hadits Anas tadi ditafsirkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti makan sahur sebelum 10-15 menit sebelum adzan Subuh, ini sebuah kekeliruan dalam memahami dalil. Darimana mereka menafsirkan hadits tersebut sehingga berkesimpulan demikian.
Padahal sangat jelas sekali hadits Anas tadi bahwa Rasulullah berrdiri untuk melakukan sholat setelah sahur tidak menjelaskan secara sharih bahwa beliau menunggu tanpa makan dan minum setelah selesai sahur hingga waktu sholat subuh.
Lagipula banyak hadits yang serupa yang menguatkan diakhirkannya sahur dan bahwa batasan awal puasa adalah fajar kemerahan dan suara adzan Subuh.
Seyogyanya kita membawa pengertian hadits Anas tadi dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sholat setelah sahur adalah dengan menunjukkan bahwa tidak adanya jeda waktu antara sahur beliau dengan sholat subuh saat terbitnya fajar kemerahan. Dan yang dimaksud dengan bacaan 50 ayat di hadits itu adalah waktu yang digunakan untuk melakukan sahur yang kalau dikonversikan ke menit sekitar 10 sampai 15 menit. Dan memang inilah waktu paling ideal.
Seandainya batasan waktu 50 ayat tadi ditafsirkan dengan berhentinya makan dan minum dengan perhitungan hingga 10-15 menit maka bagaimana jika seseorang sedang menikmati hidangan sahur tiba-tiba terdengar adzan subuh. Maka logikanya ia akan menghentikan makan sekalipun di hadapannya atau dimulutnya masih tersisa makanan. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan padahal gelas ada di tangannya, janganlah ia letakkan hingga memenuhi hajatnya” [Hadits Riwayat Abu Daud 235, Ibnu Jarir 3115. Al-Hakim 1/426, Al-Baihaqi 2/218, Ahmad 3/423]
Yang dimaksud dengan adzan di hadits tersebut adalah adzan Subuh yang kedua sebagaimana diterangkan oleh Imam Ahmad 2/510 dan Ibnu Jarir At-Thabari 2/102 (Lihat Kitab Sifat Shaum Nabi)
Perhatikanlah Hadits di atas yang sangat jelas menunjukkan bahwa Rasulullah tidak pernah memerintahkan bahkan melazimkan secara terus-menerus adanya waktu jeda antara makan sahur dan adzan subuh apalagi sampai ditetapkan di dalam almanak (kalender).
Demikian pula dengan hadits selanjutnya: “Telah dikumandangkan iqamah shalat, ketika itu di tangan Umar masih ada gelas, dia berkata : ‘Boleh aku meminumnya ya Rasulullah?’ Rasulullah bersabda : “Ya’ minumlah”[Hadits Riwayat Ibnu Jarir 2/102 dari dua jalan dari Abu Umamah]
Maka sekiranya waktu imsak ditetapkan dengan rentang waktu 50 ayat dan di antara rentang waktu tersebut seseorang tidak diperbolehkan makan dan minum lagi, maka niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memperingatkan Umar ra untuk berhenti makan dan minum tatkala beliau makan sahur bersamanya ketika di tangan Umar ra masih tersisa minuman sekalipun sudah dikumandangakan iqomat sholat. Namun kenyataan dalam hadits tersebut tidak demikian, malah sebaliknya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbolehkan Umar ra meneruskannya.
Jika dikatakan bahwa keadaan Umar ra saat bersama Rasulullah adalah hal kebetulan dan pengkhususan. Maka dimana letak pengkususannya itu sementara Abu Bakar, Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Abu Huroiroh atau Huzaifah semua meriwayatkan riwayat yang serupa sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya di atas.
Maka kesimpulannya bahwa penetapan waktu awal puasa atau berhentinya kita dari makan dan minum adalah harus berdasarkan ketetapan nash melalui tafsirnya yang mu’tabar dan hadits shahih dengan kejelasan asbabul wurudnya dan kesepakatan pendapat para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Sehingga merupakan suatu rahmat yang sangat besar dari Allah Ta’ala ketika kita diberi keleluasaan mengakhirkan sahur hingga terbitnya fajar kemerahan dan terdengarnya suara adzan Subuh.
Bilahi taufiq wa sholallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.
Referensi:
Tafsir Al Qur’an Al Adzim Ibnu Katsir cet. Maktabah Taufiqiyah Mesir.
Umdatul Ahkam Syaikh Abdul Ghani Al Maqdisi cet, Media Hidayah
Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura